RIBA TETAP HARAM
Oleh : H. Muh. Lutfi Tharodli,S.Sos.I
Abi Turen Madrasah
Ashaulatiyah Makkah Al-Mukarromah
Allah
SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sebagaimana firmannya pada
Suratul Baqaroh ayat 275 yang artinya :”Dan telah menghalalkan Allah akan
jual beli dan mengharamkan riba”
Riba menurut pengertian bahasa berarti Az-Ziyadah
(tambahan). Yang dimaksudkan di sini adalah tambahan atas modal baik penambahan
itu sedikit maupun banyak.
Tetapi
perlu diketahui bahwa tidak semua yang bertambah itu terhitung riba seperti
kita membeli barang seharga Rp. 200.000,- kemudian ada yang mau membelinya
seharga Rp. 400.000,-, kita rela menjual dan si pembeli ridho membeli tanpa
suatu paksaan kemudian dilakukan ijab dan qabul dengan segala persyaratannya,
hal yang bertambah tersebut bukan dinamakan riba tetapi keuntungan dari jua
beli dan hal tersebut sah dan halal untuk dimakan sama ada pembayarannya dengan
tunai ataupun angsuran. Semua itu tidak ada larangan asalkan sama-sama ridho.
Firman
Allah SWT pada Surat An-Nisa’ ayat 29 sebagai berikut: “ Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara bathil,
kecuali bahwa adalah ia perniagaan yang timbul dari saling meridhoi dari pada
kamu.”
Al-Qur’an
menyinggung masalah riba di berbagai tempat, tersususun cecara kronologis
berdasarkan urutan waktu.
Pada
periode Makkah turun firman Allah yang berbunyi :”Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.” (Q.S.Arrum : 39)
Dan
pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas, yaitu
firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah Supaya kamu beruntung.”
(QS. Ali Imran ayat 130)
Dan
terakhir firman Allah SWT : “hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu meninggalkan sisa riba, ketahuilah! Bahwa Allah dan rasulNya akan
menerangimu. Dan jika kamu bertobat, bagimu pokok hartamu (modal), kamu tidak
melakukan kezaliman dan tidak pula dizalimi.” (QS. Al-baqarah 278-279)
Pada ayat ini mengandung penolakan tegas terhadap
orang yang mengatakan bahwa ada riba yang tidak terlarang atau riba tidak haram
kecuali jika berlipat ganda, riba ya tetap riba karena Allah SWT tidak
membolehkannya kecuali mengembalikan modal pokok tanpa tambahan. Dan ayat ini
merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba.
Memang
sih, ayat yang terakhir tidak lagi
menyebutkan riba yang disambung dengan berlipat ganda tetapi hanya menyebutkan
sisa riba yang mempunyai pengertian riba yang tidak berlipatgandapun harus
tetap ditinggalkan artinya riba yang besar sampai yang kecil haram. Karena
pengertian riba secara umum adalah tambahan atas modal baik penambahan itu
sedikit maupun banyak.
Di
dalam kitab Hasyiatus Showi ala tafsir Jalalain pada halaman 173 disebutkan:”Dan
ketahuilah sesungguhnya riba itu diharamkan sebagaimana disebutkan di dalam
Al-qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ maka barang siapa yang menghalalkan riba maka
sungguh dia telah kafir.”
Dari
Jabir bin Abdullah ra. bahwa rasulullah SAW bersabda :”Allah melaknat
pemakan riba, yang memberi makannya, saksi-saksinya, dan penulisnya.” (HR.
Bukhari,Muslim,Ahmad,Abu daud, dan tarmidzi)
Memang benar, kita akui hampir empat tahun fatwa MUI
tentang bunga diputuskan keharamannya dan sebelum fatwa ini munculpun para
ulama dari zaman baheula telah berijma’ atas keharaman riba sesuai dengan nash
yang jelas dari Qur’an maupun hadis yang tidak membutuhkan penafsiran lagi
tentang keharamannya.
Tetapi
yang menjadi persoalan fatwa tersebut tidak didukung oleh peran aktif
masyarakat untuk menghindari bunga, terutama bunga Bank.
Kyai
Syafi’i Hadzami rohimahullah dalam bukunya Taudhihul Adillah pada halaman 184
menyatakan :”Bank simpan pinjam yang memberikan bunga kepada peminjam dan
menarik bunga dari peminjam dengan persyaratan yang mengikat dan persentase
yang telah ditentukan seperti deposito dan membuka rekening sebagai nasabah
suatu Bank adalah termasuk riba qardhi yang diharamkan dengan ittifaq.”
Selanjutnya
kyai Syafi’i Hadzami rohimahumullah mengatakan :”Akan tetapi jika persoalan
Bank di Negara kita ini ditinjau dari sudut kebutuhannya dalam pembinaan
kelancaran dan kestabilan serta baiknya perekonomian rakyat, maka tentunya hal
itu hanya diperkenankan jika sampai kebutuhannya itu kepada hadduddharurat
karena ketiadaan makanan lain selain untuk memakan bangkai. Dan kebolehannya
adalah pasti terbatas kepada kadar kedaruratannya.”
Menurut
kaidah ushul Fiqh yang artinya :”Sesuatu yang dibolehkan tersebab darurat
adalah dikadarkan menurut kadar daruratnya.”
Jadi,
intinya secara ittifaq riba itu tetap haram, keharaman tersebut adalah apabila
pemberian-pemberian itu disyaratkan dalam akad pinjam, akan tetapi apabila
tidak disyaratkan dalam akad dan tidak mengikat maka tidak haram, bahkan sunat
kita membayar hutang dengan sebagus-bagus pembayaran.
Diriwayatkan
dari Jabir ra. berkata ia :”Aku datang kepada nabi Muhammad SAW sedang
beliau mempunyai hutang kepadaku, maka beliau membayar hutangnya kepadaku dan
memberi kelebihan kepadaku.” (HR. Bukhari-Muslim)
Di
akhir tulisan ini, saya memberi pilihan kepada para pembaca, mengikuti fatwa
MUI dan ijma’ ulama yang mengatakan bahwa riba itu haram, atau apakah pembaca
termasuk dari golongan yang sangat membutuhkan sehingga ada jalan diperkenankan
karena haddut darurat, ataukah memilih penafsiran yang mengatakan bahwa riba
tidak haram atau ada riba yang tak terlarang. Silahkan para pembaca renungkan!!
Semoga hidayah dan pemeliharaan Allah senantiasa menyertai kita. Amin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar