PERINGATAN
MAULID NABI ANTARA BID’AH DAN SUNNAH
Oleh: H. Muh. Lutfi Tharodli, S.Sos.I.
M.Pd.I.
(Guru Bahasa Arab di MTs N 1 Mataram)
Setiap tiba
bulan Rabi’ul Awwal di negara kita yang mayoritas bependuduk muslim terbesar
dunia selalu menyemarakkan dengan sebuah kegiatan yang disebut peringatan
maulid Nabi Muhammad SAW. Di negara kita bukan hanya maulid nabi yang dijadikan
sebagai hari nasional. Bahkan kita mengenal peringatan isra’ mikraj, Nuzul
al-Quran, tahun baru Muharram, dan sejenisnya telah dijadikan sebagai hari
nasional juga. Hanya saja hari-hari nasional yang benuansa sejarah Islam tadi
tidak disepakati oleh sebagian masyarakat yang menganggap bahwa berbagai bentuk
peringatan tersebut adalah kesia-siaan dan perbuatan bidah yang diada-adakan.
Adanya
polemik tidak bidah atau bidah inilah yang menjurus kepada pecahnya ukhuwah
Islamiyah yang telah dirajut oleh sang pembawa risalah agung Muhammad SAW dan memunculkan kebingungan di tengah-tangah
masyarakat tauhid. Mengapa umat yang berkiblat sama, memiliki kitab yang sama,
Tuhan yang satu, dan nabi yang sama bisa saling berbeda pendapat bahkan
berujung ke ranah saling sesat-menyesatkan? Apakah perbedaan pendapat dari satu
umat yang mengakui berTuhan satu hanya berbuah perpecahan? Bisakah perbedaan pendapat
tersebut dirajut menjadi saling pengertian dalam bingkai cinta kasih? Ataukah
kedua pandangan yang berbeda tersebut akan terus bertarung sampai tidak ada
yang kalah ataupun menang? Membawa ego masing-masing sehingga memunculkan sifat
ananiyah (keakuan) yang paling disukai syetan atau bisakah umat ini berjalan
sesuai fahamnya dengan tidak menggubris atau menyalahkan pendapat faham yang
berbeda, sehingga memunculkan kelapangan jiwa menerima perbedaan?.
Bagi
penulis, peringatan maulid Nabi adalah sebuah perayaan yang diselenggarakan
dengan tujuan mengenang dan memuliakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada
peringatan tersebut masyarakat dari berbagai lapisan berkumpul di sebuah
tempat, baik masjid, sekolah, rumah, ataupun kantor dengan satu tujuan mejalin
tali ukhuwah, mendengarkan khatmul Quran, pembacaan sirah Nabawiyah, lantunan
shalawat, dan ceramah agama. Inilah hakikat peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
yang penulis fahami dan saksikan selama ini. Tetapi jika ada sebagian
masyarakat dengan dalih memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
menyelenggarakannya dengan hura-hura, bahkan mabuk-mabukan maka penulis sepakat
bahwa hal tersebut adalah bidah yang sesat.
Salah
seorang tabi’in yang bernama Imam Hasan Bashri, beliau terkenal dengan
kesalehan dan kecerdasan yang menarik perhatian para sahabat ra.. Imam Hasan
Bashri berpendapat tentang maulid Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan:
“Andaikata aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudarmakan semuanya
untuk penyelenggaraan pembacaan maulid Rasul.”
Ucapan
di atas membuktikan bahwa beliau menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
kelahiran nabi Muhammad SAW. Jadi suatu keanehan, jika hanya untuk mengenang
HUT sekolah, hari jadi partai, atau hultah kelahiran, kita rela mengeluarkan
banyak uang. Tetapi untuk mengenang kelahiran insan yang sangat agung ada
sebagian masyarakat yang berat untuk mendermakan sebagian hartanya di jalan
Allah.
Memang benar Rasulullah SAW tidak
pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai
suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal
(sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan
upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita
belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in
dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) dalam
bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad
IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai
menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun
sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari
Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman
tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah
hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup
belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang
dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun (Nama lengkapnya adalah
Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar
Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang
wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad
Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani
Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara
kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah
wa sholahiyyah) Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan
tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun.
Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan
sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216
)[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi
yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah
sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn
Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara
acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar,
festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai
anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan
dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn
Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali
menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali,
Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah
perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir
dan itu diteruskan sampai sekarang. Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi
perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak
menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn
Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H),
Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut
menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting
tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat
yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang
kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan
Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah
perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah
yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat
diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid
dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya. Sedangkan Ibnu
Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam
Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan
oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil
Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid
Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau
amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat
ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan
kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn
Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar
dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil
pada tahun 586 H. Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin
mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya
secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam
peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan
seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits,
ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari
sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia
menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30
ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid
Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar.
Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur
sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama
saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar
tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi
yang digelar besar-besaran itu. Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut
dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul,
Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul
Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20
kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar
kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap
kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa
ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan
mendekorasi kubah-kubah tersebut. Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam
Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju
Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin ,
raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid
Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini
kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2
kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena
perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi. Di Indonesia, terutama dipesantren,
para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan
ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi
maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan
pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang
harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi
Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah
belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial,
santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan
lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat. Sekalipun dalam dua pendapat
ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad
ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi
Salaf. Namun demikian bagi penulis tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi
dilarang atau sesuatu yang haram, apalagi sampai menuduh masyarakat yang
melaksanakan peringatan maulid Nabi Muhammad sebagai pelaku bid’ah yang sesat.
Naudzubillahi min dzalik.
Nabi
Muhammad SAW. Merupakan suri tauladan utama semua makhluk. Akhlak mulia beliau
diakui oleh Sang Pencipta dan seluruh alam. Maka sudah sepantasnya kita selaku umatnya
untuk memuliakan maulid beliau, terlepas dari pro dan kontra yang ada. Bahwa
maulid beliau adalah sebagai awal pencerah bagi gelapnya dunia, dan sebagai
tetesan embun pagi yang memberi kesejukan di relung para jiwa yang menghajatkan
kebenaran. Semoga dengan sekelumit tulisan ini dapat menjadi pencerah di dalam
menerima perbedaan pandangan, sebab kita tak ingin selamanya bergumul dengan
masalah-masalah furu’ sehingga mengenyampingkan masalah-masalah ushul. Masih
banyak PR keumatan yang lebih besar yang harus segera diatasi berupa
kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan ketidak adilan. Kebenaran mutlak milik
Allah, pemahaman insani bukanlah absolut, beda pendapat hal biasa, menganggap
diri paling benar adalah kebinasaan. Semoga manfaat!!! Salam ukhuwah!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar